Aku adalah aku. Tubuhku hanya terbuat
dari rajutan benang-benang wol yang dibuat sampai membentuk wujud sebuah
binatang. Entahlah, aku tidak tahu binatang apa itu. Tapi, dari yang ku dengar,
para manusia menyebutnya beruang. Tubuh ini terisi oleh gumpalan busa-busa
halus, atau mungkin juga kapas. Jawaban untuk apa yang membuat tubuh ini
mengembang, antara busa atau kapas aku juga tidak tahu pasti, aku juga tidak
terlalu peduli. Kebanyakan manusia juga tidak terlalu peduli isi dari tubuh
mereka bukan?.
Aku hanyalah benda mati. Tergeletak tak
berdaya disudut kamar seseorang, dia cantik. Matanya mengeluarkan air, nafasnya
terisak, satu yang aku pelajari: dia sedang menangis. Sebenarnya aku ingin
menghentikan tangisnya, tapi aku tidak bisa. Karena aku hanyalah aku, sebuah
benda mati. Air matanya membasahi sedikit bagian kepalaku. dia sempat
menempelkan wajahnya yang sedang bersedih disana. Ya, tentunya sebelum ia
melemparku kesini.
Dia sedang memandang secarik kertas
bergambar seseorang. Seseorang yang aku kenal. Seseorang yang memberikan ku
padanya. Aku masih ingat saat pertama kali bertemu perempuan ini. Saat itu aku
terbungkus dalam sebuah kotak. Temanku hanya sepotong surat kecil dengan
tulisan tangan: “Selamat Ulang Tahun Sayang.” Tentu saja ekspresinya saat itu
berbeda sekali dengan sekarang.
Aku sudah lama tinggal dengan perempuan
itu, didalam kamarnya ini. Kadang aku berada di meja belajarnya saat dia
mengerjakan tugas, berada di sebelahnya saat dia menonton sebuah kotak yang
mengeluarkan gambar dan suara, bahkan berada dalam dekapannya saat ia tertidur.
Sebenarnya ia sosok yang ceria, aku menyukai matanya yang menyipit saat ia
tertawa. Lengkung bibirnya saat dia tersenyum, dan aku sangat menyukai ekspresi
dari gabungan keduanya. Tapi, akhir-akhir ini berbeda.Ini tangisnya yang ke
tiga dalam sepekan ini. Oh Tuhan, aku ingin benar-benar menghapus air mata yang
mengalir lembut di pipinya.
Tunggu, dia melihat kemari. Dia
mengambilku lagi. Kali ini dia membaringkan ku di ranjangnya. Tepat
disebelahnnya. “Habis putus cinta.” bisik angin yang berhembus melalui
celah-celah jendela kamarnya yang terbuka kepadaku. Sekarang aku tahu, mengapa
ia menangis. Aku tidak mengerti mengapa putus cinta bisa sangat menyakitkan untuk
seorang manusia. Bukannya jumlah mereka di dunia ini sangat banyak. Aku tahu
karena dulu aku selalu melihat mereka berlalu lalang-melintasi toko dimana aku
dijual. Mereka melihatku, tersenyum, lalu pergi lagi. Sampai akhirnya kekasih
permpuan ini menebusku lalu memberikanku kepadanya.
Sepertinya hujan diluar sedikit
mereda,tapi tidak untuk tangisnya. Semilir angin yang pamit untuk keluar, dan
untaian lagu merdu dari ponselnya menemani kami berdua di sisa-sisa malam ini.
Hei, dia mengangkat-ku lagi, mungkin dia ingin melemparku keluar jendela. Atau
mungkin dia juga ingin membuangku ke tempat sampah di sudut kamarnya. Heii..
apa yang ingin kau lak-, tunggu... dia memelukku!, dia mendekapku dalam
tangisnya. Air mata di pipi kanannya membasahi pipi kiriku. Ah, Andai aku
manusia. Aku ingi menghentikan tangis dan air mata mu dengan menyekanya.
Tentunya dengan tanganku sendiri. Bukan menyerap air matamu dengan bulu-bulu
buatan ini.
Sebenarnya aku ingin berbicara banyak
padanya. Menyuruhnya untuk berhenti menangis. Mengatakan bahwa masih banyak
laki-laki di dunia ini. Tapi apa yang aku ketahui, mulut untuk berbicara saja
aku tak punya. Dan tentang.. apa? Oh iya, hal yang manusia sebut dengan cinta. Apa yang aku tahu tentang cinta?
hati saja aku ‘tak punya. Halah.. aku ini terlalu sok tahu. Sudahlah lebih baik
kau lupakan dia, dan tidur yang nyenyak malam ini. Puas-puasi tangismu. Tapi
jangan berlebihan, cantik mu akan memudar jika ada noda hitam atau kantung mata
di bawah matamu.
Ahh.. Andai aku manusia, yang mempunyai
mulut untuk mengatakan ‘hentikanlah tangismu’.
Andai aku manusia, yang mempunyai tangan
untuk merangkulmu.
Andai aku manusia, yang mempunyai hati
untuk... mencintaimu.
Ahh andai aku, manusia.
-@fadlupratama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar