“Karena masa mudaku, semua adalah
tentangmu...”
Okay, ini adalah
review pertama yang gue tulis di blog tentang sebuah novel dan film, selain review
kecil-kecilan yang gue tulis di akun twitter pribadi gue. Ini adalah review
panjang pertama gue. Semoga banyak yang suka ya (dan tentunya nggak membocorkan
banyak spoiler hehehe).
*Warning Spoiler Alert!
Jujur saja gue
baru tahu tentang film You Are the Apple
of My Eye ini kurang lebih satu tahun yang lalu dari rekomendasi teman
kampus gue, padahal itu film sudah dari tahun 2011. Yaa.. telat dua tahun nggak
apalah. Dan untuk novelnya baru pada hari kemarin gue selesai baca (dengan
judul yang sama) karena memang “agak” susah gue cari, but in the end ketemu juga.
Secara tidak
langsung gue menonton film-nya lebih dahulu, baru kemudian baca novelnya.
Menurut gue, sebuah keuntungan ketika seseorang menonton film yang diadaptasi
dari film, baru kemudian baca novelnya. Karena kebutuhan yang dibutuhkan novel
dan film itu pastinya berbeda, jadi seenggaknya tidak terlalu sakit hati kalau
misalnya ada adegan novel yang tidak ada atau mungkin berbeda dengan yang di
novel. Bahkan rasanya seperti menemukan harta karun ketika kita menemukan
hal-hal yang jauh lebih detil di novel ketimbang di filmnya.
Cukup prolognya,
mari sekarang ngomongin tentang inti dari tulisan ini. Novel You Are the Apple of My Eye ini adalah
novel semi-Autobiografi berdasarkan kisah pengalaman pribadi sang penulis,
Giddens Ko (Ke Jingteng) yang kemudian diangkat menjadi sebuah film. Gue cukup
terkejut dengan gaya penulis yang baru gue kenal ini, gimana nggak? Karena ini
diangkat dari kisah nyata Giddens bahkan memulai cerita dari “Kata Pengantar,”
bagaimana dia akhirnya punya ide untuk menulis kisah masa mudanya ini.
Novel ini
bercerita tentang sekelompok anak laki-laki (Ke Jingteng dkk,) yang mengejar
seorang anak perempuan (Shen Jiayi) yang mereka sukai bersama-sama pada
tahun-tahun mereka sekolah, tentunya cerita lebih fokus ke arah Jinteng dengan
Jiayi. Cerita yang cukup chessy, tapi
kemampuan bercerita Giddens yang sederhana namun punya kalimat-kalimat yang catchy yang akhirnya gue nggak menyesal
ngebeli cerita tentang masa lalunya ini.
Versi Filmnya
harus gue katakan “cukup jauh” berbeda dari novelnya. Dalam novelnya Ke
Jingteng memang sekelas dengan Shen Jiayi, namun itu ketika SMP. Saat sudah
masuk SMA, Ke Jingteng mengambil jurusan IPA sedangkan Shen Jiayi ada di
jurusan IPS. Ke Jingteng mengambil jurusan IPA-pun karena dia mengikuti omongan
gadis yang dia sukai sebelum Shen Jiayi, Li Xiaohua. Dalam versi film, mereka
ada dalam satu kelas, bahkan Li Xiaohua tidak diceritakan.
Keputusan yang
tepat kalau menurut gue untuk membuat “dimensi” yang berbeda antara novel dan
film. Gue nggak bisa bayangin kalau filmnya benar-benar sama seperti di novel.
Pastinya akan lama sekali. Seperti yang gue bilang diatas, novelnya jauh lebih
detil, ketika Ke Jingteng menyukai Li Xiaohua diceritain dengan benar-benar
matang. Bagaimana mereka berdua pulang bersama, Jinteng menunggui Xiaohua
dibawah rumahnya dengan seekor anjing sambil makan hotdog (belakangan diketahui
Jinteng salah mengira dimana rumah Li Xiaohua) bahkan hampir satu per tiga buku
adalah kisah Jinteng mengejar Xiaohua yang pada akhirnya justru menghindar
tanpa alasan pasti.
Perbedaan yang
mencolok lagi adalah ketika di film Ke Jingteng dan Shen Jiayi suka belajar
bersama di sekolah sampai malam hari. Berada pada satu ruangan, saling
mengerjakan soal, dan bercanda. Di novelnya mereka tidak belajar pada satu
kelas yang sama. Mereka berada di kelas yang berbeda, belajar masing-masing
lalu pada pukul 20.30 Ke Jingteng baru akan menemani Shen Jiayi mengobrol sampa
Ibu Shen Jiayi menjemput. Oiya, di novelnya juga tidak ada adegan masturbasi di
kelas.
Perbedaan-perbedaan
selanjutnya cukup bisa diterima demi kebutuhan filmnya. Gue sempat berpikir,
sepertinya Giddens mencari sasaran “dedek-dedek” SMP atau SMA yang dijadikan
sasaran penjualan dari filmnya ini.
Haduh. Cukup
sulit ternyata untuk me-review novel dan film dalam waktu bersamaan, karena gue
harus adil dalam membagi porsi cerita. Dan ternyata susah. Okelah, gue akan
me-review semampu gue aja.
Gue pernah
melihat quote di Internet tentang menulis. “menulislah dengan jujur, dengan
begitu ceritamu akan mempunyai jiwanya sendiri”. Dan yang gue rasakan ketika
baca novel dan nonton filmnya, gue merasa kejujuran Giddens dalam bercerita
membuat pembaca dan penontonnya hanyut dalam cerita yang berakhir sedih ini.
Ya, pada
akhirnya pengejaran Jinteng terhadap Jiayi selama delapan tahun gagal. Seperti
dialog Jiayi di film “terkadang dalam
hidup memang ada usaha yang tidak membuahkan hasil” dan Jinteng yang
akhirnya sadar bahwa mereka sebenarnya tidak terlalu cocok satu sama lain.
(delapan tahun lo baru merasa nggak cocok, LO KEMANA AJA MEN?!)
Sebenarnya Jinteng
pernah mengutarakan rasanya pada Jiayi, bahkan dengan PeDenya dia bilang satu juta persen Shen Jiayi akan
menerimanya. Ke Jinteng benar, seandainya dia mengizinkan Jiayi untuk membalas
ucapannya, mungkin mereka akan berpacaran. Tapi Jinteng bilang “Aku tidak ingin mendengar jawabanmu
sekarang, karena aku hanya menyatakan perasaanku. Bukan menanyakan perasaanmu,
kau tidak harus menjawab”. Dan Shen Jiayi mengiyakan, karena menurutnya
masa-masa indah dalam hubungan cinta adalah masa pengejaran, dan dia juga tidak
ingin sikap Jinteng berubah jika pada akhirnya mereka berpacaran. Mereka
memutuskan untuk membiarkan masa-masa itu dalam masa PDKT saja.
Konflik yang
membuat mereka “berpisah” adalah ketika penyakit lama Jinteng, yang menurut
Jiayi “kekanak-kanakan” muncul lagi. Mengadakan pertandingan tarung bebas di
kampusnya agar sengaja terluka dan terlihat keren. Mereka beradu mulut cukup
lama sampai akhirnya Jinteng memutuskan untuk “menyerah pada Jiayi”. Mereka lost contact selama dua tahun. Bahkan
akhirnya mereka mempunyai pacar masing-masing (dalam novel, di film tidak ada).
Sampai pada suatu hari Jiayi menelepon Jinteng, dia akan menikah.
Ketika gue
nonton filmnya dan melihat adegan flashback
antara Jinteng dengan Jiayi pada pernikahan Jiayi yang dikejarnya selama
delapan tahun yang pada akhirnya gagal. Gue termenung cukup lama sampai tanpa
terasa filmnya habis dan gue baru sadar. Dan ketika gue membaca 328 halaman
novelnya, (memang tidak ada adegan flashback)
tapi Giddens meng-kill pembacanya ketika Jinteng menelepon Jiayi
ketika Taiwan dilanda gempa dan akhirnya Jiayi mengungkapkan perasaannya pada
Jinteng yang sesungguhnya.
Walaupun sudah
terlambat dan bahkan mereka sudah mempunyai pacar masing-masing ketika menelepon
pada malam itu, tapi kalimat-kalimat Jinteng yang terkesan “ikhlas” melepas
perempuan yang ia kejar selama delapan tahun cukup buat gue tertohok. Gue tutup
bukunya sejenak lalu teriak “Giddens Bajingaan!!”
Cerita-cerita
percintaan dan persahabatan masa muda dan masa-masa sekolah sangat bisa
diterima oleh hampir semua kalangan, karena semua orang pernah merasakan
masa-masa itu sepertinya. Tapi karena hampir semua mengalaminya, cerita
terkesan seperti itu-itu saja. Namun, Giddens berhasil merangkum kisahnya
sendiri dengan baik. Dan orang-orang akan bilang “Ahh gue juga pernah begitu..
temen-temen gue juga, jadi kangen mereka.”
Cerita
ini mengajarkan betapa jatuh cinta bisa mengubah seseorang yang malas menjadi
rajin ketika jatuh cinta, dan rasa gigih dalam mengejar target, apapun target
itu. Prestasi belajar, mengejar masuk universitas, sampai mengejar cinta. Tapi
juga harus sadar “banyak usaha dalam hidup ini yang memang tidak membuahkan
hasil” dan mau tidak mau harus ikhlas.
Dan
untuk mengakhiri review ini, gue yang bukan siapa-siapa ini ingin meberikan
nilai 8,5/10 untuk film dan novelnya. Oke, inilah review gue tentang You Are The Apple of My Eye. Sampai
ketemu dalam tulisan atau review berikutnya. Ciao!
-fadlupratama
Serius ada novelnya? Wah, kayaknya harus dibaca nih. Ceritanya emang bagus banget :D
BalasHapusAda, justru itukan diangkat dari novel..
HapusIni cerita yang cukup menohok di hati dan terlihat sangat tidak masuk akal.
BalasHapusTetapi, bagus banget apalagi scene pas jinteng "main" bareng temen2nya hahahaha :v akwoakwoawko
Malah kalo menurut gue, realita lebih nggak masuk akal ketimbang fiksi sih. gitu hahahah,
HapusI love michelle chen
BalasHapusMenurut kakak, bagus film atau novelnya?
BalasHapus