Senin, 16 Februari 2015

Review Novel dan Film You Are the Apple of My Eye


“Karena masa mudaku, semua adalah tentangmu...”

Okay, ini adalah review pertama yang gue tulis di blog tentang sebuah novel dan film, selain review kecil-kecilan yang gue tulis di akun twitter pribadi gue. Ini adalah review panjang pertama gue. Semoga banyak yang suka ya (dan tentunya nggak membocorkan banyak spoiler hehehe).

*Warning Spoiler Alert!

Jujur saja gue baru tahu tentang film You Are the Apple of My Eye ini kurang lebih satu tahun yang lalu dari rekomendasi teman kampus gue, padahal itu film sudah dari tahun 2011. Yaa.. telat dua tahun nggak apalah. Dan untuk novelnya baru pada hari kemarin gue selesai baca (dengan judul yang sama) karena memang “agak” susah gue cari, but in the end  ketemu juga.

Secara tidak langsung gue menonton film-nya lebih dahulu, baru kemudian baca novelnya. Menurut gue, sebuah keuntungan ketika seseorang menonton film yang diadaptasi dari film, baru kemudian baca novelnya. Karena kebutuhan yang dibutuhkan novel dan film itu pastinya berbeda, jadi seenggaknya tidak terlalu sakit hati kalau misalnya ada adegan novel yang tidak ada atau mungkin berbeda dengan yang di novel. Bahkan rasanya seperti menemukan harta karun ketika kita menemukan hal-hal yang jauh lebih detil di novel ketimbang di filmnya.

Cukup prolognya, mari sekarang ngomongin tentang inti dari tulisan ini. Novel You Are the Apple of My Eye ini adalah novel semi-Autobiografi berdasarkan kisah pengalaman pribadi sang penulis, Giddens Ko (Ke Jingteng) yang kemudian diangkat menjadi sebuah film. Gue cukup terkejut dengan gaya penulis yang baru gue kenal ini, gimana nggak? Karena ini diangkat dari kisah nyata Giddens bahkan memulai cerita dari “Kata Pengantar,” bagaimana dia akhirnya punya ide untuk menulis kisah masa mudanya ini.

Novel ini bercerita tentang sekelompok anak laki-laki (Ke Jingteng dkk,) yang mengejar seorang anak perempuan (Shen Jiayi) yang mereka sukai bersama-sama pada tahun-tahun mereka sekolah, tentunya cerita lebih fokus ke arah Jinteng dengan Jiayi. Cerita yang cukup chessy, tapi kemampuan bercerita Giddens yang sederhana namun punya kalimat-kalimat yang catchy yang akhirnya gue nggak menyesal ngebeli cerita tentang masa lalunya ini.

Versi Filmnya harus gue katakan “cukup jauh” berbeda dari novelnya. Dalam novelnya Ke Jingteng memang sekelas dengan Shen Jiayi, namun itu ketika SMP. Saat sudah masuk SMA, Ke Jingteng mengambil jurusan IPA sedangkan Shen Jiayi ada di jurusan IPS. Ke Jingteng mengambil jurusan IPA-pun karena dia mengikuti omongan gadis yang dia sukai sebelum Shen Jiayi, Li Xiaohua. Dalam versi film, mereka ada dalam satu kelas, bahkan Li Xiaohua tidak diceritakan.

Keputusan yang tepat kalau menurut gue untuk membuat “dimensi” yang berbeda antara novel dan film. Gue nggak bisa bayangin kalau filmnya benar-benar sama seperti di novel. Pastinya akan lama sekali. Seperti yang gue bilang diatas, novelnya jauh lebih detil, ketika Ke Jingteng menyukai Li Xiaohua diceritain dengan benar-benar matang. Bagaimana mereka berdua pulang bersama, Jinteng menunggui Xiaohua dibawah rumahnya dengan seekor anjing sambil makan hotdog (belakangan diketahui Jinteng salah mengira dimana rumah Li Xiaohua) bahkan hampir satu per tiga buku adalah kisah Jinteng mengejar Xiaohua yang pada akhirnya justru menghindar tanpa alasan pasti.

Perbedaan yang mencolok lagi adalah ketika di film Ke Jingteng dan Shen Jiayi suka belajar bersama di sekolah sampai malam hari. Berada pada satu ruangan, saling mengerjakan soal, dan bercanda. Di novelnya mereka tidak belajar pada satu kelas yang sama. Mereka berada di kelas yang berbeda, belajar masing-masing lalu pada pukul 20.30 Ke Jingteng baru akan menemani Shen Jiayi mengobrol sampa Ibu Shen Jiayi menjemput. Oiya, di novelnya juga tidak ada adegan masturbasi di kelas.

Perbedaan-perbedaan selanjutnya cukup bisa diterima demi kebutuhan filmnya. Gue sempat berpikir, sepertinya Giddens mencari sasaran “dedek-dedek” SMP atau SMA yang dijadikan sasaran penjualan dari filmnya ini.
Haduh. Cukup sulit ternyata untuk me-review novel dan film dalam waktu bersamaan, karena gue harus adil dalam membagi porsi cerita. Dan ternyata susah. Okelah, gue akan me-review semampu gue aja.

Gue pernah melihat quote di Internet tentang menulis. “menulislah dengan jujur, dengan begitu ceritamu akan mempunyai jiwanya sendiri”. Dan yang gue rasakan ketika baca novel dan nonton filmnya, gue merasa kejujuran Giddens dalam bercerita membuat pembaca dan penontonnya hanyut dalam cerita yang berakhir sedih ini.

Ya, pada akhirnya pengejaran Jinteng terhadap Jiayi selama delapan tahun gagal. Seperti dialog Jiayi di film “terkadang dalam hidup memang ada usaha yang tidak membuahkan hasil” dan Jinteng yang akhirnya sadar bahwa mereka sebenarnya tidak terlalu cocok satu sama lain. (delapan tahun lo baru merasa nggak cocok, LO KEMANA AJA MEN?!)

Sebenarnya Jinteng pernah mengutarakan rasanya pada Jiayi, bahkan dengan PeDenya dia bilang satu juta persen Shen Jiayi akan menerimanya. Ke Jinteng benar, seandainya dia mengizinkan Jiayi untuk membalas ucapannya, mungkin mereka akan berpacaran. Tapi Jinteng bilang “Aku tidak ingin mendengar jawabanmu sekarang, karena aku hanya menyatakan perasaanku. Bukan menanyakan perasaanmu, kau tidak harus menjawab”. Dan Shen Jiayi mengiyakan, karena menurutnya masa-masa indah dalam hubungan cinta adalah masa pengejaran, dan dia juga tidak ingin sikap Jinteng berubah jika pada akhirnya mereka berpacaran. Mereka memutuskan untuk membiarkan masa-masa itu dalam masa PDKT saja.

Konflik yang membuat mereka “berpisah” adalah ketika penyakit lama Jinteng, yang menurut Jiayi “kekanak-kanakan” muncul lagi. Mengadakan pertandingan tarung bebas di kampusnya agar sengaja terluka dan terlihat keren. Mereka beradu mulut cukup lama sampai akhirnya Jinteng memutuskan untuk “menyerah pada Jiayi”. Mereka lost contact selama dua tahun. Bahkan akhirnya mereka mempunyai pacar masing-masing (dalam novel, di film tidak ada). Sampai pada suatu hari Jiayi menelepon Jinteng, dia akan menikah.

Ketika gue nonton filmnya dan melihat adegan flashback antara Jinteng dengan Jiayi pada pernikahan Jiayi yang dikejarnya selama delapan tahun yang pada akhirnya gagal. Gue termenung cukup lama sampai tanpa terasa filmnya habis dan gue baru sadar. Dan ketika gue membaca 328 halaman novelnya, (memang tidak ada adegan flashback) tapi Giddens meng-kill  pembacanya ketika Jinteng menelepon Jiayi ketika Taiwan dilanda gempa dan akhirnya Jiayi mengungkapkan perasaannya pada Jinteng yang sesungguhnya.

Walaupun sudah terlambat dan bahkan mereka sudah mempunyai pacar masing-masing ketika menelepon pada malam itu, tapi kalimat-kalimat Jinteng yang terkesan “ikhlas” melepas perempuan yang ia kejar selama delapan tahun cukup buat gue tertohok. Gue tutup bukunya sejenak lalu teriak “Giddens Bajingaan!!”

Cerita-cerita percintaan dan persahabatan masa muda dan masa-masa sekolah sangat bisa diterima oleh hampir semua kalangan, karena semua orang pernah merasakan masa-masa itu sepertinya. Tapi karena hampir semua mengalaminya, cerita terkesan seperti itu-itu saja. Namun, Giddens berhasil merangkum kisahnya sendiri dengan baik. Dan orang-orang akan bilang “Ahh gue juga pernah begitu.. temen-temen gue juga, jadi kangen mereka.”
            Cerita ini mengajarkan betapa jatuh cinta bisa mengubah seseorang yang malas menjadi rajin ketika jatuh cinta, dan rasa gigih dalam mengejar target, apapun target itu. Prestasi belajar, mengejar masuk universitas, sampai mengejar cinta. Tapi juga harus sadar “banyak usaha dalam hidup ini yang memang tidak membuahkan hasil” dan mau tidak mau harus ikhlas.

            Dan untuk mengakhiri review ini, gue yang bukan siapa-siapa ini ingin meberikan nilai 8,5/10 untuk film dan novelnya. Oke, inilah review gue tentang You Are The Apple of My Eye. Sampai ketemu dalam tulisan atau review berikutnya. Ciao!

-fadlupratama

6 komentar:

  1. Serius ada novelnya? Wah, kayaknya harus dibaca nih. Ceritanya emang bagus banget :D

    BalasHapus
  2. Ini cerita yang cukup menohok di hati dan terlihat sangat tidak masuk akal.
    Tetapi, bagus banget apalagi scene pas jinteng "main" bareng temen2nya hahahaha :v akwoakwoawko

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah kalo menurut gue, realita lebih nggak masuk akal ketimbang fiksi sih. gitu hahahah,

      Hapus
  3. Menurut kakak, bagus film atau novelnya?

    BalasHapus