Selasa, 15 Mei 2018

Malam Tua


Suatu hari kau bilang. Kau
Ingin tinggal di desa. Kataku
Pepohonan dan sawah-sawah tidak mengajarkan aku apa-apa.

Ditempat  aku menulis sekarang.
suaramu tertinggal ditelingaku.
mataku menutup—menatap wajahmu.

Kita berdua terlahir di belantara kota.
Utopia dalam Dystopia.
tempat anak-anak mati dalam acara
atas nama negara.

Juga penjara atau tinju aparat negara
menanti seorang mahasiswa
terpisah dari kawan-kawannya.

Bentang jarak antara desa dan kota
sedekat nasi dengan garpu dan sendok
yang kau makan siang tadi.

Aku terdiam
mendengar televisi bercerita
orang-orang terhempas ketika ingin berdoa.
mereka terpental seperti kata-kata.

Aku ingat mawar ibuku yang aku siram tadi pagi
duri-durinya tidak tajam seperti ujung pena wartawan tua.
Apakah mawar-mawar juga berdoa kepada Tuhan.
seperti aku, untukmu di depan jendela kamar.

Puisi ini—cermin kebodohan.
rumah miskin kata yang berharap untuk kau tinggali.
Bukan rumah di desa seperti yang kau inginkan.

Pada teras rumahmu kini.
kau duduk menikmati malam tua yang lama-lama mati.
Sementara sunyi memelukmu penuh nafsu.
Aku mengemas perlengkapanku
untuk membunuh matahari.
                                                                                                            FP 2018