Kamis, 12 Februari 2015

Hubungan Cinta dengan Matematika


Sebelum menulis ini, gue udah menampar muka gue sebanyak tiga belas kali. Karena gue nggak menyangka akhirnya gue jatuh cinta.. dengan Matematika. Ya, matematika. Sesuatu yang kebanyakan orang tidak peduli justru gue mulai jatuh cinta. Mungkin kalian yang membaca ini bertanya-tanya:
 “apa sih hubungannya cinta dengan Matematika? Emangnya ada?”


Dengan bingung hati dan masih sedikit tidak percaya dengan apa yang gue rasain, gue akan ngasih tau kalau gue justru akhirnya menemukan arti cinta, lewat matematika. Dan ini pun gue baru sadar. Untuk lebih mudahnya gue akan memberitahu kalian lewat cerita gue, begini ceritanya:

Setelah lulus SMA, gue seperti kebanyakan siswa pada umumnya yaitu gue bingung untuk mengambil jurusan kuliah. Walaupun beberapa murid yang rajin sudah jauh-jauh hari bisa mengambil keputusan akan melanjutkan kuliah di mana dan di jurusan apa, sayangnya gue nggak. Ya, gue memang bego.

Gue bingung untuk memilih jurusan, karena dari hal-hal yang gue tau. Di kehidupan kuliah gue bisa menentukan mata kuliah apa yang bisa gue ambil, nggak seperti di SMA yang semuanya sudah ditentukan kurikulum. Maka dari itu gue nggak mau salah ambil keputusan, salah-salah ngambil keputusan, yang ada hidup gue justru lebih menderita. Gue nggak nyaman di jurusan gue, gue nggak lulus-lulus, dan ujung-ujungnya gue jadi mahasiswa abadi. Nggak, gue nggak mau salah ambil jurusan. Pikir gue waktu itu.

Dalam masa-masa krisis jurusan itu, nyokap gue selalu bilang “Cari jurusan yang kamu minati yang kamu pengin. Gitu aja kok susah,” itu memang nggak susah, tapi sayangnya justru terlalu banyak jurusan yang gue pengin. Pengin masuk sastra Inggris, sastra Indonesia, Hukum, dan jurusan-jurusan yang pada akhirnya bikin otak gue menyadarkan gue, seolah-olah dia bilang
“MEN, GUE NGGAK SHANGGUP!”

Metode dari nyokap yang menyuruh gue untuk menentukan jurusan lewat apa yang gue suka nggak berhasil. Lalu akhirnya gue memutuskan, kenapa gue nggak putar aja kalimatnya “Cari jurusan dari sesuatu yang kamu tidak suka, lalu hindari” dan.. itu berhasil.
Cara bego memang berlaku untuk orang bego kayak gue. banyak sekali jurusan-jurusan yang gue coret karena ada sesuatu yang gue tidak suka di dalamnya. yang selalu gue hindari dari tahun ke tahun sepanjang gue menempuh pendidikan, yaitu: Ma-te-mati-ka.

Iya, gue menghindari matematika. Karena gue paling nggak suka dengan itu. Bahkan nilai matematika gue sangat kebanting dibanding pelajaran-pelajaran favorit gue. semacam pelajaran tentang bahasa. Gue menyukai pelajaran tentang bahasa, terlepas apakah itu bahasa Indonesia atau bahasa asing. Gue tetap menyukainya.

Setelah banyak list jurusan yang tercoret. Gue tetap bingung untuk memilih jurusan yang gue pilih. Tapi kali ini bukan tentang hal yang gue hindari. Ini hal nomor dua yang terpenting ketika kalian ingin memilih jurusan, ini tentang kenyamanan. Kenyamanan akan menjadi salah satu hal yang berpengaruh ketika kuliah. Yang gue pikirin saat itu adalah ketika lo kuliah, lo akan fokus untuk mempelajari hal yang menjadi jurusan lo, dan lo harus bertahan.

Akhirnya gue mutusin untuk nggak mikirin hal-hal itu dulu. Semuanya gue tinggal. Sampai pada suatu hari gue diajak untuk nonton film sama teman gue. judulnya Perahu Kertas. Film itu nyeritain tentang Kugy, cewek yang bercita-cita jadi penulis dan hubungannya dengan Keenan, temannya yang pelukis. Dalam film ini diceritain bahwa pada suatu hari Kugy menjadi karyawan magang di salah satu perusahaan advertising sebagai copywriter. Menonton film itu dan melihat adegan-adegan Kugy di kantornya membuat gue tertarik dengan advertising. Gue pengin kondisi kantor yang seperti itu. Yang nggak harus terus menerus ada dibelakang meja. Selesai menonton Perahu Kertas gue menemukan jurusan kuliah apa yang gue pengin. Gue pengin masuk periklanan, dan karena saat itu gue berpikir kalo di periklanan tidak ada matematika. Sayangnya gue salah, dalam hidup kita nggak bisa lari dari matematika.


Singkat cerita gue akhirnya masuk salah satu kampus swasta di Jakarta dan mengambil jurusan periklanan. Sialnya, ada statistik yang merupakan bagian dari matematika merupakan mata kuliah wajib yang harus diambil di kampus gue. dan mau tidak mau akhirnya gue bertemu gue kembali dengan matematika. Seperti pertemuan kembali dengan mantan kekasih walau kau sudah berusaha menghindar.

Hai.. selamat bertemu lagi. Aku sudah lama menghindarimu, sialku lah kau ada disini.... matematika” – Maudy Ayuyun: Tahu Diri dong~, OST Perahu Kertas UN.

Sekali lagi gue ulang “dalam hidup, kita nggak bisa lari dari matematika” gue sadar itu semua setelah gue mengamati hal-hal yang ada di sekitar. Gue mengamati rumah, gue sadar tinggal di dalam rumah yang mana rumah gue dibangun dengan perhitungan dari matematika. Gue jalan-jalan naik motor, naik mobil, semua itu ada hubungan matematikanya, entah itu kendaraan yang gue naiki, gedung yang gue lewati, sampai jalanan itu sendiri pasti ada hitungan matematikanya. Dulu gue selalu berpikir, nanti tanpa matematika pun gue bisa hidup kok. Gue salah tentang itu, justru gue, atau kita, atau dunia justru hidup dalam ruang lingkup matematika.

Rasa penasaran gue dengan matematika makin menjadi-jadi setelah suatu hari ketika gue sedang asik main twitter akun Mbah Sudjiwo Tedjo (@sudjiwotedjo) yang gue follow me-retweet sebuah link YouTube yang isinya sebuah video ketika Sudjiwo Tedjo lagi ngomongin tentang matematika. Gue pun penasaran untuk nonton itu. Kampret! Judulnya Math finding harmony in chaos gue makin penasaran untuk menyukai matematika. Dan pada akhirnya gue memutuskan untuk mulai menyukai matematika.
*nanti gue kasih link-nya dibawah.

Proses gue untuk menyukai matematika juga perlahan. Pertama, gue mulai menerima matematika itu sendiri. Gue rubah mindset gue yang tadinya nggak suka, jadi biasa aja. Istilah gue, baikan dulu. Kedua gue juga nggak malas untuk datang ke kelas statistik gue (walaupun sempat titip absen tiga kali untuk bolos). Dan yang terakhir gue berusaha untuk terus merhatiin materi yang dosen gue kasih. Ini yang sulit kalau menurut gue, karena beberapa materi yang gue nggak ngerti, gue berusaha nanya sama teman gue. Gue cari terus sampai gue nemuin jawabannya, gue melawan diri gue sendiri untuk nggak bosan dengan itu.
Hal-hal itu terus gue lakuin selama satu semester, dan pada akhirnya voila! Nilai statistik gue selama satu semester “A”, suatu pencapaian untuk gue, karena gue nggak pernah meraih nilai setinggi itu untuk sesuatu yang ada hubungannya dengan matematika.

***

Mungkin beberapa dari kalian bingung dengan cerita ini. dari tadi ngomongin matematika, jurusan kuliah, nilai ujian statistik, padahal judul ceritanya “Hubungan Cinta dengan Matematika” mana cerita tentang cinta-nya?
Oke, mari ngomongin cinta. *sotoy
*DI GAMPAR KUGY
*oke, serius lagi.

Gue mendapat pelajaran baru dalam hidup gue melalui pengalaman gue di atas. Pada awalnya gue tidak menyukai matematika. Gue membenci matematika, gue menghindari matematika. Tapi pada akhirnya, ketika gue berusaha untuk mulai menyukai matematika, gue menemukan bahwa: lawan dari cinta jusru bukan benci, dia pengabaian. Lawan dari benci justru suka. Bukan cinta.

Seperti ketika seorang laki-laki menyatakan cintanya kepada perempuan, dan dia ditolak. Bukan berarti perempuan tersebut benci ke laki-laki itu bukan? Dia hanya mengabaikannya. Mengabaikan perasaan laki-laki tersebut, dia tidak perduli. Bukan membenci.
Ada kalanya sepasang kekasih sedang bertengkar, sang perempuan berkata kepada lelakinya “Aku benci kamu!” bukan berarti perempuan itu tidak lagi mencintai lelakinya. Dia sudah tidak lagi menyukainya. Mungkin lelakinya itu berubah, tidak seperti lelaki yang ia terima cintanya dulu. Mungkin pada akhirnya mereka putus. Tetapi diam-diam perempuan itu masih memperhatikan mantan lelakinya tersebut, ya.. mungkin dia masih cinta.
Sepasang kekasih yang telah lama putus, tetapi mereka masih sering bertemu. Mungkin mereka masih saling menyukai. Sesederhana seorang teman menyukai temannya yang lain. Tapi, setelah mereka berpisah dari suatu pertemuan. Mereka tidak lagi saling memperhatikan, mereka tidak lagi saling memikirkan. Ya.. mungkin mereka masih suka, tapi sudah tidak saling cinta.

Itu beberapa hal yang gue dapat dari matematika,

Pada saat gue menghindari matematika, tanpa sadar gue memberikan dua rasa negatif gue kepada matematika. Benci (tidak suka) dan pengabaian. Dulu ketika pelajaran matematika gue mengabaikan materi yang guru gue kasih, gue jarang memperhatikan guru, gue abaikan matematika. Lalu ketika gue mulai menyukai matematika, tanpa sadar (lagi) gue nggak hanya menyukai. Gue juga mulai memperhatikannya, bagaimana cara gue memperoleh hasil dari sebuah angka melalui rumus, gue perhatikan satu-persatu dengan teliti sampai gue sadar, gue jatuh cinta dengan bahasa yang baru gue pahami belakangan ini. Bahasa Matematika. Walau hanya pada luarnya saja, karena gue tau matematika pasti dalam. Tapi ketika gue menyadari kalau hanya dengan sedikit bagian dari dirinya saja gue jatuh cinta, apalagi ketika gue mendalaminya?
Gue baru sadar bahwa matematika itu sebenarnya bahasa, hanya saja dia menjelaskannya melalui angka, dan dia jutek. Dia tidak ingin lo mengetahui maksudnya secara langsung. Dia pengin lo berusaha mengejar dia sampai lo menemukan apa yang dia maksud seolah ingin berkata “jika aku memang berharga, maka berusahalah,”. Seperti perempuan yang sedang marah ke pacarnya, lalu diam.

Tanpa sadar, gue jatuh dan mengerti cinta dengan bahasa baru ini. bahasa yang dingin dan jutek, matematika.


Fadlu Pratama.

sumber gambar: google.



Setelah postingan ini, gimana persepsi kalian dengan matematika? tumpahin aja di komentar. atau mungkin lo nggak suka sama gue, mau menghina-hina gue. tumpahin aja di komentar juga:

4 komentar:

  1. Kalo ada cewek yang jago matematika, gimana tuh, kak? Digebet gak? :p

    BalasHapus
  2. anjir, besok pasti gue bakalan belajar statistika di kampus, soalnya gue ngambil ilmu komunikasi yg ada pelajaran dasar-dassar periklanan, semoga besoknya nggak terlalu sulit tuh statistik ya he.

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga, tapi yang pasti. nikmatin aja dulu ilmunya hehehe.

      Hapus