Kamis, minggu kedua April
2015. Hujan tiba-tiba mengguyur senja di pinggiran Jakarta, Terpaksa aku harus
berteduh di sebuah franchise minimarket berwarna biru dalam perjalanan pulang
dari kampus.
“Sial, padahal tadi siang
matahari terik. Kenapa giliran pas udah pulang malah hujan?”
Aku duduk di luar berjarak
cukup jauh dengan pengunjung lain, atau mungkin harus kusebut ‘peneduh’ yang
lain. Segelas cappucino panas ada di atas meja yang aku tebus dari dalam masih
terlalu panas untuk diminum. Padahal sedang tidak begitu kepengin, hanya
sebagai pelengkap beberapa batang rokok yang daritadi ku hisap sambil membaca
halaman-halaman terakhir ‘Like a Flowing River – Paulo Coelho’ yang sedang
ingin ku khatam-kan. Akhir-akhir ini
aku membawa novel kalau ke kampus, kalau bahasa kekiniannya ‘biar nggak gabut’
jadinya ketika nunggu pergantian kelas.
Bapak tukang parkir yang
baru selesai dari tugas dadakannya (memarkirkan belasan motor yang tiba-tiba
datang untuk berteduh) menggantung ponconya dan berdiri hanya beberapa langkah
dariku.
“Wah.. Kalau hujannya
kayak gini sih biasanya awet mas..” Ucapnya mengajakku mengobrol.
“Iya, sih.. deres banget
nggak. Tapi rapet..”
“Apanya yang rapet mas?
Hehehe..”
“Hujannya lah pak,
he..hehe.”
Kami cengengesan, aku
menghisap rokokku dia menyisir rambutnya yang basah dengan jari. “Mau rokok,
pak?” Tawarku.
“Makasih mas, hehehe tapi
punya saya juga masih banyak..” Jawabnya sambil memperlihatkan bungkusan
rokoknya dari kantong kemeja.
Percakapan singkat dengan
bapak tukang parkir. Dia lalu pamit padaku, melanjutkan tugas karena beberapa
peneduh yang lain mulai berdatangan. Mega mulai menjingga, tapi hujan masih
tetap mengguyur dengan intesitas yang tidak berkurang. Suara rintik air
membentur atap dan punggung dedaunan pohon masih sama tak ada yang mau mengalah.
Aku kembali sendirian, menyesap segelas cappucino panas, menghisap sebatang
rokok, dan membalik halaman demi halaman Like
a Flowing River.
“Kak, maaf. Kita boleh
nitip payung?”
Seorang laki-laki
sepantaran denganku tiba-tiba menegur. ‘Anak SMA,’ Aku langsung tahu dari
seragamnya; batik dengan celana abu-abu panjang yang sedikit basah terkena
tempias hujan. Dia tidak sendirian, bersamanya seorang perempuan, seumuran juga,
mungkin pacarnya pikirku. ‘Kelas duabelas,’ Aku langsung tahu lagi ketika
melihat buku-buku latihan soal ujian
nasional yang didekap perempuan itu. Bukan main; tiga buku sekaligus.
“Ah? I-iya.. taruh aja di
situ” tunjukku pada sebuah pilar di depan mejaku.
Laki-laki itu menyenderkan
payungnya pada pilar. Tersenyum padaku, kemudian mereka berdua masuk ke dalam
minimarket. Aku memperhatikan mereka dari luar. Ah iya, dari gelagatnya mereka
berpacaran.
Sial, aku jadi
memperhatikan mereka, kenapa aku harus peduli. Toh wajar saja melihat
murid-murid SMA mulai berpacaran, jangankan SMA yang lebih muda dari itu juga
lebih banyak. Bahkan seingatku pertama kali aku menyukai perempuan saat aku
kelas satu SD. Tidak sampai menembak atau bagaimana sih, hanya senang
melihatnnya saja. Bahkan kalau aku ingat-ingat lagi terkadang aku geli sendiri,
habisnya saat itu aku sempat berkali-kali mematahkan ujung pensilku hanya untuk
meminjam rautan dan setidaknya
mengajak dia bicara, tentu maksud
asliku yang kedua hehehe.
Tidak lama mereka berdua
sudah keluar, yang laki-laki membawa dua cup mie instan yang sudah terseduh
sementara yang perempuan menenteng dua botol air mineral di kantong plastik,
tangan satunya masih mendekap buku-buku soal. Mereka menghampiriku lagi. “Kak,
kita duduk di sebelah ya?” laki-laki itu meminta izinku lagi. Melihat masih ada
tiga bangku yang kosong di mejaku.
“Silakan, santai aja.. ini
tempat umum kok.” Jawabku.
Kami duduk satu meja,
dengan tiga bangku terisi dan satu bangku kosong.
“Masih SMA ya, kelas tiga?”
aku menanyakan hal-hal yang sudah aku ketahui tadi. Hanya untuk memecah
suasana.
“Iya, kak.. udah mau UN. Hehehe”
yang perempuan menjawab.
“Bulan ini UN tanggal
berapa?”
“13, kak. Besok sudah hari
tenang. Ini hari terakhir belajar.” Jawabnya lagi.
Aku mematikan rokokku,
walau belum habis betul. Menghormati mereka, sepertinya yang laki-laki tidak
merokok. Ah mungkin saja belum, dulu pas SMA aku juga tidak. “Dimas” nama yang
lelaki, dan “Riana” yang perempuan, setidaknya itu nama yang tertera di baju
mereka, maaf mataku memang jelalatan.
“Kak, kuliah ya?” yang
laki-laki bertanya. Sambil mengelap sisa kuah mie instan di pojok bibirnya.
“iya, baru semester kedua.”
“Ohh, baru lulus dong. UN,
itu gimana sih?” tanyanya lagi.
“UN? Ya.. ya gitu deh.” Jawabku.
Bingung mau bilang gimana.
“Gitu gimana?”
“Ya, gitu.. engg.. kayak
try out, cuma deg-degannya lebih gede hehe.” Jawabku, asal.
Mereka melanjutkan
menyantap makanannya, aku melanjutkan membaca Like a Flowing River. “Pacaran ya?” tiba-tiba keluar dari mulutku
kalimat tanya itu.
“Ehh? Iya kak.”Jawab yang
perempuan sambil mulai membuka buku-buku soalnya di atas meja, yang laki sibuk
senyum-senyum sambil ngelupas plastik di botol aqua lalu digulung-gulung.
“Dari kapan?”
“Dari kelas sebelas kak, kakak sendirian aja nih?” Kali
ini yang laki yang jawab, plus menyinggung teritori pribadi.
“Nggak kok, bertiga. Sama kalian.”
“Hehehe, jayus kak. Udah lama
sendiri kak?” Sialan, yang laki-laki rumpi sekali sepertinya.
“Ya, lumayan pacaran dari
SMA.. putusnya pas kuliah, beda kampus.”
“Wah, kok bisa?”
Sebenarnya banyak yang
ingin kukatakan sama laki-laki yang rada rumpi ini. sebenarnya ingin kubilang; kau
tidak tahu, kelak ketika lulus nanti ada hari di mana kau berpikir apakah ini
akan terus lanjut, atau tidak. Akan ada hari di mana kau bertemu orang-orang
baru, dan dia juga begitu. Kau mungkin tidak khawatir, tapi bagaimana dengan
dia, atau mungkin dia tidak khawatir, tapi bagaimana denganmu sendiri.
Akan ada hari di mana
kelak ketika membutuhkan seseorang, justru yang ada adalah yang baru. Takutkanlah,
bila yang baru lebih menyenangkan. Kau mungkin akan bilang, “kami sama-sama
setia kok” ya, coba saja kutantang, selamat bila berhasil. Dan bila gagal juga
tidak apa, bukan hanya kau. Aku tahu itu sulit.
“ya bisalah..” aku hanya
jawab itu.
“Hmm gitu.”
“Kalau lulus jangan putus,
ya.” kubilang. Yang laki kebingungan, dan yang perempuan sepertinya tidak
terlalu memperhatikan obrolan kami.
“maksudnya kak?”
“Iya, kalau lulus jangan
putus. Sesederhana itu.” Jawabku.
sesederhana itu diucapkan, serumit itu diartikan.
BalasHapusmasih inget gue?
masih lah.. hai apa kabar?
BalasHapusbaikk.. lo sendiri?
Hapusgue tunggu tulisan selanjutnya wkwk
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapuskata yang sederhata namun memiliki makna lebih :D
BalasHapussederhana banget
BalasHapus