Jumat, 01 Mei 2015

Kalau Lulus Jangan Putus

Kamis, minggu kedua April 2015. Hujan tiba-tiba mengguyur senja di pinggiran Jakarta, Terpaksa aku harus berteduh di sebuah franchise minimarket berwarna biru dalam perjalanan pulang dari kampus.

“Sial, padahal tadi siang matahari terik. Kenapa giliran pas udah pulang malah hujan?”

Aku duduk di luar berjarak cukup jauh dengan pengunjung lain, atau mungkin harus kusebut ‘peneduh’ yang lain. Segelas cappucino panas ada di atas meja yang aku tebus dari dalam masih terlalu panas untuk diminum. Padahal sedang tidak begitu kepengin, hanya sebagai pelengkap beberapa batang rokok yang daritadi ku hisap sambil membaca halaman-halaman terakhir ‘Like a Flowing River – Paulo Coelho’ yang sedang ingin ku khatam-kan. Akhir-akhir ini aku membawa novel kalau ke kampus, kalau bahasa kekiniannya ‘biar nggak gabut’ jadinya ketika nunggu pergantian kelas.

Bapak tukang parkir yang baru selesai dari tugas dadakannya (memarkirkan belasan motor yang tiba-tiba datang untuk berteduh) menggantung ponconya dan berdiri hanya beberapa langkah dariku.

“Wah.. Kalau hujannya kayak gini sih biasanya awet mas..” Ucapnya mengajakku mengobrol.

“Iya, sih.. deres banget nggak. Tapi rapet..”

“Apanya yang rapet mas? Hehehe..”

“Hujannya lah pak, he..hehe.”

Kami cengengesan, aku menghisap rokokku dia menyisir rambutnya yang basah dengan jari. “Mau rokok, pak?” Tawarku.

“Makasih mas, hehehe tapi punya saya juga masih banyak..” Jawabnya sambil memperlihatkan bungkusan rokoknya dari kantong kemeja.

Percakapan singkat dengan bapak tukang parkir. Dia lalu pamit padaku, melanjutkan tugas karena beberapa peneduh yang lain mulai berdatangan. Mega mulai menjingga, tapi hujan masih tetap mengguyur dengan intesitas yang tidak berkurang. Suara rintik air membentur atap dan punggung dedaunan pohon masih sama tak ada yang mau mengalah. Aku kembali sendirian, menyesap segelas cappucino panas, menghisap sebatang rokok, dan membalik halaman demi halaman Like a Flowing River.

“Kak, maaf. Kita boleh nitip payung?”


Seorang laki-laki sepantaran denganku tiba-tiba menegur. ‘Anak SMA,’ Aku langsung tahu dari seragamnya; batik dengan celana abu-abu panjang yang sedikit basah terkena tempias hujan. Dia tidak sendirian, bersamanya seorang perempuan, seumuran juga, mungkin pacarnya pikirku. ‘Kelas duabelas,’ Aku langsung tahu lagi ketika melihat buku-buku latihan soal ujian nasional yang didekap perempuan itu. Bukan main; tiga buku sekaligus.

“Ah? I-iya.. taruh aja di situ” tunjukku pada sebuah pilar di depan mejaku.

Laki-laki itu menyenderkan payungnya pada pilar. Tersenyum padaku, kemudian mereka berdua masuk ke dalam minimarket. Aku memperhatikan mereka dari luar. Ah iya, dari gelagatnya mereka berpacaran.

Sial, aku jadi memperhatikan mereka, kenapa aku harus peduli. Toh wajar saja melihat murid-murid SMA mulai berpacaran, jangankan SMA yang lebih muda dari itu juga lebih banyak. Bahkan seingatku pertama kali aku menyukai perempuan saat aku kelas satu SD. Tidak sampai menembak atau bagaimana sih, hanya senang melihatnnya saja. Bahkan kalau aku ingat-ingat lagi terkadang aku geli sendiri, habisnya saat itu aku sempat berkali-kali mematahkan ujung pensilku hanya untuk meminjam rautan dan setidaknya mengajak dia bicara, tentu maksud asliku yang kedua hehehe.

Tidak lama mereka berdua sudah keluar, yang laki-laki membawa dua cup mie instan yang sudah terseduh sementara yang perempuan menenteng dua botol air mineral di kantong plastik, tangan satunya masih mendekap buku-buku soal. Mereka menghampiriku lagi. “Kak, kita duduk di sebelah ya?” laki-laki itu meminta izinku lagi. Melihat masih ada tiga bangku yang kosong di mejaku.

“Silakan, santai aja.. ini tempat umum kok.” Jawabku.

Kami duduk satu meja, dengan tiga bangku terisi dan satu bangku kosong.

“Masih SMA ya, kelas tiga?” aku menanyakan hal-hal yang sudah aku ketahui tadi. Hanya untuk memecah suasana.

“Iya, kak.. udah mau UN. Hehehe” yang perempuan menjawab.

“Bulan ini UN tanggal berapa?”

“13, kak. Besok sudah hari tenang. Ini hari terakhir belajar.” Jawabnya lagi.

Aku mematikan rokokku, walau belum habis betul. Menghormati mereka, sepertinya yang laki-laki tidak merokok. Ah mungkin saja belum, dulu pas SMA aku juga tidak. “Dimas” nama yang lelaki, dan “Riana” yang perempuan, setidaknya itu nama yang tertera di baju mereka, maaf mataku memang jelalatan.

“Kak, kuliah ya?” yang laki-laki bertanya. Sambil mengelap sisa kuah mie instan di pojok bibirnya.

“iya, baru semester kedua.”

“Ohh, baru lulus dong. UN, itu gimana sih?” tanyanya lagi.

“UN? Ya.. ya gitu deh.” Jawabku. Bingung mau bilang gimana.

“Gitu gimana?”

“Ya, gitu.. engg.. kayak try out, cuma deg-degannya lebih gede hehe.” Jawabku, asal.

Mereka melanjutkan menyantap makanannya, aku melanjutkan membaca Like a Flowing River. “Pacaran ya?” tiba-tiba keluar dari mulutku kalimat tanya itu.

“Ehh? Iya kak.”Jawab yang perempuan sambil mulai membuka buku-buku soalnya di atas meja, yang laki sibuk senyum-senyum sambil ngelupas plastik di botol aqua lalu digulung-gulung.

“Dari kapan?”

“Dari kelas sebelas kak, kakak sendirian aja nih?” Kali ini yang laki yang jawab, plus menyinggung teritori pribadi.

“Nggak kok, bertiga. Sama kalian.”

“Hehehe, jayus kak. Udah lama sendiri kak?” Sialan, yang laki-laki rumpi sekali sepertinya.

“Ya, lumayan pacaran dari SMA.. putusnya pas kuliah, beda kampus.”

“Wah, kok bisa?”

Sebenarnya banyak yang ingin kukatakan sama laki-laki yang rada rumpi ini. sebenarnya ingin kubilang; kau tidak tahu, kelak ketika lulus nanti ada hari di mana kau berpikir apakah ini akan terus lanjut, atau tidak. Akan ada hari di mana kau bertemu orang-orang baru, dan dia juga begitu. Kau mungkin tidak khawatir, tapi bagaimana dengan dia, atau mungkin dia tidak khawatir, tapi bagaimana denganmu sendiri.

Akan ada hari di mana kelak ketika membutuhkan seseorang, justru yang ada adalah yang baru. Takutkanlah, bila yang baru lebih menyenangkan. Kau mungkin akan bilang, “kami sama-sama setia kok” ya, coba saja kutantang, selamat bila berhasil. Dan bila gagal juga tidak apa, bukan hanya kau. Aku tahu itu sulit.

“ya bisalah..” aku hanya jawab itu.

“Hmm gitu.”

“Kalau lulus jangan putus, ya.” kubilang. Yang laki kebingungan, dan yang perempuan sepertinya tidak terlalu memperhatikan obrolan kami.

“maksudnya kak?”


“Iya, kalau lulus jangan putus. Sesederhana itu.” Jawabku.

6 komentar:

  1. sesederhana itu diucapkan, serumit itu diartikan.
    masih inget gue?

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. baikk.. lo sendiri?
      gue tunggu tulisan selanjutnya wkwk

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. kata yang sederhata namun memiliki makna lebih :D

    BalasHapus