Senin, 15 Februari 2016

Malam Panjang

Malam Panjang
Karya: Fadlu Pratama

“Menurutmu, kenapa seorang penulis dikatakan sebagai penulis?” tanyaku.

“Mungkin, karena mereka menulis” jawabnya.

“Aku juga tahu itu! Tetapi, bagaimana dengan penulis yang sudah tidak lagi menulis?” tanyaku lagi.

Dia terdiam sejenak, kedua tangan mungilnya masih memegang mug kecil dengan kopi hangat di dalamnya. Hanya jari-jarinya yang terlihat, sementara punggung tangannya tertutup lengan sweater merah marunnya. Dia memalingkan wajahnya ke langit-langit, kemudian melempar pandangannya ke mataku. “Tidak tahu juga sih” jawabnya singkat.
Aku hanya diam, kembali menempelkan pantat rokok dengan mulutku kemudian mengembuskannya. Kini asap-asap itu mengegelingi kami, berputar mengitari lampu yang berwarna oranye di atas kami, lalu pergi menghilang.

“Tapi terlalu egois bila kita menyebut orang yang dulunya menulis tetapi sekarang tidak, dengan sebutan bukan penulis lagi.” Tiba-tiba dia berkata.

“kenapa begitu?” Aku menjatuhkan abu rokok ke dalam asbak.

“Bagaimanapun mereka pernah menulis, dan seperti katamu semua tulisan itu mengekal, bukan?” dia meletakkan mug kopinya pada meja di tengah kami, sambil mencodongkan tubunya ke arahku. “Kita sedang berbicara tentang dirimu kan? Seorang yang dulunya menulis.” tanyanya lagi.

“Yang dulunya.” Sambungku.

“Kenapa? Kenapa kau sudah tidak menulis lagi? Kau tahu, aku mencintaimu lewat narasimu, dialogmu, dan yang paling ku suka adalah bagaimana kau selalu memperhatikan hal-hal kecil yang jarang sekali dilihat orang lain.” Dia menaikkan suaranya, akan tetapi tetap lembut terdengar. Kakinya dia naikkan ke kursi, sambil menggulung ujung jeansnya yang basah terkena tampias hujan di depan kami.

Aku diam, mencerna semua kata-katanya. “Entahlah, aku seperti kehilangan bahan bakar untuk menulis, semangat, ataupun inspirasi, dan segala macamnya itu. Sudahlah terima saja bahwa pacarmu ini sudah tidak bisa menulis lagi.” Jawabku pelan.

“Memang bahan bakar seperti apa yang kau gunakan sampai kehabisan?” tanyanya sambil mengambil kotak rokok di atas meja, kemudian menghidupkannya.

“Kesedihan, kesendirian, kekecewaan, dan hati yang sakit.” Kujawab sambil memalingkan wajahku darinya, bagaimanapun dia itu terserah, aku mencintainya, hanya saja aku tidak suka melihatnya ketika dia merokok, itu haknya, tapi tetap saja aku tidak suka melihat perempuan itu, kekasihku sendiri, merokok.

“Sebab menurutku, hal-hal seperti kesedihan, kesendirian, kekecewaan, dan hati yang sakit adalah bara paling panas sekaligus bahan bakar paling bagus dalam menulis. Banyak manusia yang merasakan itu, dan mereka suka jika ada cerita-cerita yang mewakili perasaan mereka.” Sambungku.
Dia tersenyum mendengar kalimatku. Sambil mengembuskan asapnya lewat hidung dia berkata “Kalau begitu kau sudah tidak merasakan hal-hal seperti itu lagi?”

“Menurutku juga begitu.” Ku hisap tarikan terakhir dari rokokku kemudian kuciumkan ujungnya pada dasar asbak. Delapan batang kuhilat, seingatku aku hanya merokok tiga batang. Kupikir kekasihku menghisap lebih banyak.

“Kalau begitu mulailah menulis dengan perasaan-perasaan senang.” Katanya.

“Entahlah sayang, ku rasa aku juga tidak merasakan hal itu.”

“Lalu, apa yang kau rasakan sekarang?” dia berjalan, meninggalkan tempat duduknya kemudian dia sudah ada di punggungku, memeluk. Tangan kirinya mengalung di leherku, sambil tangan kananya menjepit puntung rokok yang masih berasap.

“Kosong, seperti aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi, semuanya! kesedihan! Rasa senang! Aku tidak tahu! Aku merasa sekarat dari dalam.” Kuraih tangannya yang mengalung di leherku, sambil memegangnya erat.

Hening lama terjadi di antara kami, aku bisa merasakan dadanya dengan punggungku. Aku terdiam, begitu pula dia. Sementara aku mengusap punggung tangannya yang lembut dengan jempolku. Dia menempelkan dagunya di ubun kepalaku, sehingga aku bisa mendengar napasnya dengan jelas. Rambutnya yang panjang menyentuh punuk dan bahuku. Dalam hening kami, hal-hal lain mengambil bagiannya, hujan dengan suara air yang jatuh dan sela gerumuh tanpa petir lalu rokoknya dengan bara yang masih menyala. Kami terdiam. Lama. Sampai akhirnya dia kembali berbicara.

“Masih terpikir untuk menulis?” tanyanya.

“Masih, dan ingin. Aku ingin kembali menulis dan menemukan diriku lagi di dalamnya.” Jawabku.

“Menulislah kalau begitu. Aku pun ingin jatuh cinta kembali padamu seperti dulu aku pernah jatuh dan diam sambil membaca tulisanmu.” Lanjutnya menenangkanku. Dia menurunkan kepalanya sejajar dengan kepalaku, kemudian mencium pipiku. Jari-jari mungilnya menyentil rokok yang masih menyala itu ke luar, dan hujan memadamkannya di sana.

“Terimakasih ku coba kalau begitu.” Balasku.

“Hidup kita terlalu singkat, aku lebih memilih untuk berada dalam salah satu perasaan, entah senang ataupun sedih. Sedih lebih ku pilih ketimbang harus berada dalam kekosongan sepertimu. Aku tahu, ini adalah kondisi yang sulit, ku coba bantu kamu sehingga kau bisa pilih salah satu.” Dia berkata sambil menarik tangannya dari tanganku kemudian mengusap kepalaku.

“Kalau ternyata aku kembali dalam perasaan sedih bagaimana?” tanyaku.

“Setidaknya kau tetap menulis, dan aku akan selalu jatuh cinta kembali lewat tulisanmu. Jawabnya.
Kalau dia bilang dia jatuh cinta lewat tulisanku, kupikir aku jatuh cinta kepadanya sebab dia bisa selalu menenangkanku dengan kata-katanya, kepadaku. Tetapi entahlah, aku tidak tahu bagaimana bisa jatuh cinta kepadanya sebab masih banyak hal-hal yang menarik darinya yang lebih daripada itu. Aku membalikkan badan, kami bertatap mata cukup lama. Aku menikmati setiap lengkung matanya, juga bulu-bulu tipisnya yang berada di antara alisnya yang tidak begitu tebal, tetapi masih asli.

“Kamu kurang tidur.” Tebaknya.

Aku tidak menjawab, lalu kucium bibirnya yang kecil, lalu kami bertaut. Cukup lama, sampai kurasakan kalau tubuh dan jiwaku merasa sangat nyaman juga tenang. Setelah itu, dia memegang tangan kiriku dengan tangan yang sama yang dia gunakan untuk merokok, “sekarang?” tanyaku. Dia tidak menjawab, kemudian menarikku ke dalam ruangan, dan ku rasa malam akan jadi lebih panjang daripada seharusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar