Malam Panjang
Karya: Fadlu Pratama
“Mungkin, karena
mereka menulis” jawabnya.
“Aku juga tahu
itu! Tetapi, bagaimana dengan penulis yang sudah tidak lagi menulis?” tanyaku lagi.
Dia terdiam
sejenak, kedua tangan mungilnya masih memegang mug kecil dengan kopi hangat di
dalamnya. Hanya jari-jarinya yang terlihat, sementara punggung tangannya
tertutup lengan sweater merah
marunnya. Dia memalingkan wajahnya ke langit-langit, kemudian melempar
pandangannya ke mataku. “Tidak tahu juga sih” jawabnya singkat.
Aku hanya diam,
kembali menempelkan pantat rokok dengan mulutku kemudian mengembuskannya. Kini
asap-asap itu mengegelingi kami, berputar mengitari lampu yang berwarna oranye
di atas kami, lalu pergi menghilang.
“Tapi terlalu
egois bila kita menyebut orang yang dulunya menulis tetapi sekarang tidak,
dengan sebutan bukan penulis lagi.” Tiba-tiba dia berkata.
“kenapa begitu?”
Aku menjatuhkan abu rokok ke dalam asbak.
“Bagaimanapun mereka
pernah menulis, dan seperti katamu semua
tulisan itu mengekal, bukan?” dia meletakkan mug kopinya pada meja di tengah
kami, sambil mencodongkan tubunya ke arahku. “Kita sedang berbicara tentang
dirimu kan? Seorang yang dulunya menulis.” tanyanya lagi.
“Yang dulunya.”
Sambungku.
“Kenapa? Kenapa
kau sudah tidak menulis lagi? Kau tahu, aku mencintaimu lewat narasimu,
dialogmu, dan yang paling ku suka adalah bagaimana kau selalu memperhatikan
hal-hal kecil yang jarang sekali dilihat orang lain.” Dia menaikkan suaranya,
akan tetapi tetap lembut terdengar. Kakinya dia naikkan ke kursi, sambil
menggulung ujung jeansnya yang basah terkena tampias hujan di depan kami.
Aku diam,
mencerna semua kata-katanya. “Entahlah, aku seperti kehilangan bahan bakar
untuk menulis, semangat, ataupun inspirasi, dan segala macamnya itu. Sudahlah
terima saja bahwa pacarmu ini sudah tidak bisa menulis lagi.” Jawabku pelan.
“Memang bahan
bakar seperti apa yang kau gunakan sampai kehabisan?” tanyanya sambil mengambil
kotak rokok di atas meja, kemudian menghidupkannya.
“Kesedihan,
kesendirian, kekecewaan, dan hati yang sakit.” Kujawab sambil memalingkan
wajahku darinya, bagaimanapun dia itu terserah, aku mencintainya, hanya saja
aku tidak suka melihatnya ketika dia merokok, itu haknya, tapi tetap saja aku
tidak suka melihat perempuan itu, kekasihku sendiri, merokok.
“Sebab
menurutku, hal-hal seperti kesedihan, kesendirian, kekecewaan, dan hati yang
sakit adalah bara paling panas sekaligus bahan bakar paling bagus dalam
menulis. Banyak manusia yang merasakan itu, dan mereka suka jika ada
cerita-cerita yang mewakili perasaan mereka.” Sambungku.
Dia tersenyum
mendengar kalimatku. Sambil mengembuskan asapnya lewat hidung dia berkata
“Kalau begitu kau sudah tidak merasakan hal-hal seperti itu lagi?”
“Menurutku juga
begitu.” Ku hisap tarikan terakhir dari rokokku kemudian kuciumkan ujungnya
pada dasar asbak. Delapan batang kuhilat, seingatku aku hanya merokok tiga
batang. Kupikir kekasihku menghisap lebih banyak.
“Kalau begitu
mulailah menulis dengan perasaan-perasaan senang.” Katanya.
“Entahlah
sayang, ku rasa aku juga tidak merasakan hal itu.”
“Lalu, apa yang
kau rasakan sekarang?” dia berjalan, meninggalkan tempat duduknya kemudian dia
sudah ada di punggungku, memeluk. Tangan kirinya mengalung di leherku, sambil
tangan kananya menjepit puntung rokok yang masih berasap.
“Kosong, seperti
aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi, semuanya! kesedihan! Rasa senang! Aku
tidak tahu! Aku merasa sekarat dari dalam.” Kuraih tangannya yang mengalung di
leherku, sambil memegangnya erat.
Hening lama
terjadi di antara kami, aku bisa merasakan dadanya dengan punggungku. Aku
terdiam, begitu pula dia. Sementara aku mengusap punggung tangannya yang lembut
dengan jempolku. Dia menempelkan dagunya di ubun kepalaku, sehingga aku bisa
mendengar napasnya dengan jelas. Rambutnya yang panjang menyentuh punuk dan
bahuku. Dalam hening kami, hal-hal lain mengambil bagiannya, hujan dengan suara
air yang jatuh dan sela gerumuh tanpa petir lalu rokoknya dengan bara yang
masih menyala. Kami terdiam. Lama. Sampai akhirnya dia kembali berbicara.
“Masih terpikir
untuk menulis?” tanyanya.
“Masih, dan
ingin. Aku ingin kembali menulis dan menemukan diriku lagi di dalamnya.”
Jawabku.
“Menulislah
kalau begitu. Aku pun ingin jatuh cinta kembali padamu seperti dulu aku pernah
jatuh dan diam sambil membaca tulisanmu.” Lanjutnya menenangkanku. Dia
menurunkan kepalanya sejajar dengan kepalaku, kemudian mencium pipiku.
Jari-jari mungilnya menyentil rokok yang masih menyala itu ke luar, dan hujan
memadamkannya di sana.
“Terimakasih ku
coba kalau begitu.” Balasku.
“Hidup kita
terlalu singkat, aku lebih memilih untuk berada dalam salah satu perasaan,
entah senang ataupun sedih. Sedih lebih ku pilih ketimbang harus berada dalam
kekosongan sepertimu. Aku tahu, ini adalah kondisi yang sulit, ku coba bantu
kamu sehingga kau bisa pilih salah satu.” Dia berkata sambil menarik tangannya
dari tanganku kemudian mengusap kepalaku.
“Kalau ternyata
aku kembali dalam perasaan sedih bagaimana?” tanyaku.
“Setidaknya kau
tetap menulis, dan aku akan selalu jatuh cinta kembali lewat tulisanmu.
Jawabnya.
Kalau dia bilang
dia jatuh cinta lewat tulisanku, kupikir aku jatuh cinta kepadanya sebab dia
bisa selalu menenangkanku dengan kata-katanya, kepadaku. Tetapi entahlah, aku
tidak tahu bagaimana bisa jatuh cinta kepadanya sebab masih banyak hal-hal yang
menarik darinya yang lebih daripada itu. Aku membalikkan badan, kami bertatap
mata cukup lama. Aku menikmati setiap lengkung matanya, juga bulu-bulu tipisnya
yang berada di antara alisnya yang tidak begitu tebal, tetapi masih asli.
“Kamu kurang
tidur.” Tebaknya.
Aku tidak
menjawab, lalu kucium bibirnya yang kecil, lalu kami bertaut. Cukup lama,
sampai kurasakan kalau tubuh dan jiwaku merasa sangat nyaman juga tenang. Setelah
itu, dia memegang tangan kiriku dengan tangan yang sama yang dia gunakan untuk
merokok, “sekarang?” tanyaku. Dia tidak menjawab, kemudian menarikku ke dalam
ruangan, dan ku rasa malam akan jadi lebih panjang daripada seharusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar